BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manhaj tarjih secara harfiah berarti cara melakukan tarjih.
Sebagai sebuah istilah, manhaj tarjih lebih dari sekedar “cara mentarjih.”
Istilah tarjih sendiri sebenarnya berasal dari disiplin ilmu usul fikih. Dalam
ilmu usul fikih tarjih berarti melakukan penilaian terhadap suatu dalil syar’i
yang secara zahir tampak bertentangan untuk menentukan mana yang lebih kuat.
Atau juga diartikan sebagai evaluasi terhadap berbagai pendapat fikih yang
sudah ada mengenai suatu masalah untuk menentukan mana yang lebih dekat kepada
semangat al-Quran dan as-Sunnah dan lebih maslahat untuk diterima. Sebagai
demikian, tarjih merupakan salah satu tingkatan ijtihad dan merupakan ijtihad
paling rendah. Dalam usul fikih, tingkat-tingkat ijtihad meliputi ijtihad
mutlak (dalam usul dan cabang), ijtihad dalam cabang, ijtihad dalam mazhab, dan
ijtihad tarjih.
Munculnya mazhab juga tidak dapat
dilepaskan dari dinamika dan perkembangan sejarah Islam sepeninggal Rasulullah
s.a.w. yang kemudian menghadapkan umat Islam dengan berbagai realitas
(kenyataan) baru yang tidak ditemui sebelumnya. Pertama, semakin luasnya
wilayah kekuasaan Islam hingga ke luar semenanjung Arabia. Kedua, pergaulan
kaum muslimin dengan bangsa-bangsa lain yang ditaklukkannya, terutama yang
berkaitan dengan adat-istiadat dan tradisi bangsa tersebut. Ketiga, akibat
jauhnya wilayah-wilayah yang ditaklukkan itu dengan pusat kekuasaan Islam,
sehingga memaksa para gubernur, hakim dan para ulama melakukan ijtihad untuk
menjawab masalah-masalah baru yang belum pernah ditemui sebelumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Manhaj Tarjih Muhammadiyah
1.
Pengertian
Manhaj
secara bahasa artinya jalan yang jelas. Sedangkan secara istilah, manhaj ialah
jalan yang akan mengantarkan kepada pengenalan hakekat ilmu melalui kaidah umum
yang dapat menjaga jalannnya akal dan member batasan praktis sehingga sampai
kepada hasil yang dapat diketahui dengan jelas.
Tarjih adalah suatu metode atau cara untuk
menyelesaikan dua atau lebih dalil yang saling berbeda atau bertentangan. Ahli
ushul mendefinisikan tarjih sebagai membandingkan dua dalil yang bertentangan
dan mengambil yang terkuat di antara keduanya. Kedua dalil
yang bertentangan itu memiliki kedudukan yang sama yaitu sama-sama zhanni.
Dalam membahas dalil-dalil yang ada, para mujtahid bertentangan satu dengan
yang lainnya karena adanya dua atau lebih dalil yang muncul, yang kedudukan
dalil-dalil tersebut sama-sama zhanni, maka untuk menyelesaikan
pertentangan itu diadakanlah tarjih.
Ijtihad
berasal dari kata ijtihada, yang menurut istilah, ijtihad berarti mencurahkan
segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran islam baik
bidang hukum, aqidah, filsafat, tasawwuf, maupun disiplin ilmu lainnya
berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.
2. Semangat Tarjih: Tajdid
Semangat/wawasan tajdid ditegaskan sebagai identitas
umum gerakan Muhammadiyah termasuk pemikirannya di bidang keagamaan. Ini
ditegaskan dalam pasal 4 ayat (1) ADM, “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam,
Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber kepada al-Quran dan
as-Sunnah” (italic dari penulis). Tajdid menggambarkan orientasi dari
kegiatan tarjih dan corak produk ketarjihan.
Tajdid
mempunyai dua arti:
a.
Dalam
bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti mengembalikan akidah
dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi saw.
b.
Dalam
bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat
dengan semangat kreatif sesuai tuntutan zaman.
3. Sumber-sumber Ajaran Agama
Manhaj (metodologi) tarjih juga mengandung pengertian
sumber-sumber pengambilan norma agama. Sumber agama adalah al-Quran dan
as-Sunnah yang ditegaskan dalam sejumlah dokumen resmi Muhammadiyah,
a.
Pasal
4 ayat (1) Anggran Dasar Muhammadiyah yang telah dikutip di atas yang
menyatakan bahwa gerakan Muhammadiyah bersumber kepada dua sumber tersebut.
b.
Putusan
Tarjih Jakarta 2000 Bab II angka 1 menegaskan, “Sumber ajaran Islam adalah
al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbūlah (السنة المقبولة).” Putusan Tarijih ini merupakan penegasan
kembali apa yang sudah ditegaskan dalam putusan-putusan tedahulu (HPT, h. 278),
الأَصْلُ فِي التَّشْرِيْعِ
اْلإِسْلاَمِيِّ عَلَى اْلإِطْلاَقِ هُوَ اْلقُرْآنُ اْلكَرِيْمُ وَالْحَدِيْثُ
الشَّرِيْفُ .
Artinya:
Dasar mutlak dalam penetapan hukum Islam adalah al-Qur’an
dan al-Hadits asy-Syarif.
4. Prosedur Tehnis (Metode)
a.
Metode
Ijtihad
Metode untuk menemukan suatu norma syariah menggunakan
ijtihad, dan dalam praktik Muhammadiyah biasanya digunakan ijtihad kolektif.
Penegasan penggunaan ijtihad ini tersirat dalam rumusan tentang qiyas dalam
HPT, di mana ditegaskan.
وَمَتىَ اسْتَدْعَتِ الظُّرُوْفُ
عِنْدَ مُواَجَهَةِ أُمُوْرٍ وَقَعَتْ وَدَعَتِ اْلحاَجَةُ إِلىَ اَْلعَمَلِ بِهاَ
وَلَيْسَتْ هِيَ مِنْ أُمُوْرِ اْلعِبَادَاتِ اْلمَحْضَةِ وَلمَ ْيَرِدْ فِيْ
حُكْمِهاَ نَصٌّ صَرِيْحٌ مِنَ اْلقُرْآنِ أَوِ السُّنَّةِ الصَّحِيْحَةِ
فَاْلوُصُوْلُ إِلىَ مَعْرِفَةِ حُكْمِهاَ عَنْ طَرِيْقِ اْلاِجْتِهاَدِ
وَاْلاِسْتِنْباَطِ مِنَ النُّصُوْصِ اْلوَارِدَةِ عَلَى أَساَسِ تَساَوِي
اْلعِلَلِ كَماَ جَرَى عَلَيْهِ اْلعَمَلُ عِنْدَ عُلَماَءِ السَّلَفِ وَاْلخَلَفِ
.
Artinya:
“Bilamana perlu
dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan dihajatkan untuk
diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdah pada
hal untuk alasannya tidak terdapat nash yang sharih di dalam al-Qur’an atau
Sunnah shahihah, maka jalan untuk mengetahui hukumnya adalah melalui ijtihad
dan istinbat dari nash-nash yang ada berdasarkan persamaan ‘illat sebagai mana
telah dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf.”
Teks putusan ini sebenarnya menjelaskan bahwa qiyas dapat
digunakan dalam menemukan hukum syar’i, namun terbatas dalam hal yang tidak
menyangkut ibadah mahdah (murni). Namun dalam teks ini tersirat penggunaan
ijtihad, dan satu satu bentuk ijtihad itu adalah qiyas.
Dalam praktik Muhammadiyah (Tarjih) metode-metode ijtihad
lainnya seperti penggunaan maslahah, istihsan dan lain-lain juga dapat
dilakukan. Misalnya dalam fatwa Tarjih tentang penjatuhan talak di rumah secara
sepihak oleh suami dinyatakan tidak berlaku. Talak dalam fatwa itu harus
dijatuhklan di depan sidang Pengadilan Agama. Landasannya antara lain adalah
prinsip maslahat.
b.
Operasionalisasi
Sumber dan Metode Pemahamannya
Dalam mengoperasionalisasikan sumber dan metode pemahamannya
dilakukan berdasarkan istiqr’ ma‘naw³. Artinya ijtihad tidak dilakukan
berdasarkan satu atau dua hadis, melainkan untuk menemukan hukum satu masalah
harus dilakukan penelitian terhadap berbagai sumber syariah yang ada. Dengan
kata lain, ijtihad tidak dilakukan dengan berdasarkan kepada satu atau dua
hadis saja, melainkan seluruh nas dan metode ijtihad terkait dihadirkan secara
serentak. Contoh putusan tarjih dalam kaitan ini adalah putusan tentang seni
patung (Putusan Aceh 1995). Termasuk juga dalam kaitan ini adalah ijtihad
tentang penggunaan hisab.
5.
Pokok-pokok Manhaj Tarjih
Muhammadiyah
a.
Di
dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al- Quran dan as-sunnah as-Sahihah.
Ijtihad dan istinbath atas dasar ‘illat terhadap hal-hal yang tidak terdapat di
dalam nash, dapat dilakukan sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi dan
memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Dengan perkataan lain, Majelis Tarjih menerima ijtihad termasuk qiyas sebagai
cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung.
b.
Dalam
menentukan sesuatu keputusan dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan
masalah ijtihad digunakan sistem ijtihad jama’iy. Dengan demikian pendapat
perorangan dari anggota majelis tidak dapat dipandang kuat;
c.
Tidak
mengikatkan diri pada suatu mazhab tetapi pendapat-pendapat mazhab dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum sepanjang sesuai dengan jiwa
al-Quran dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat;
d.
Berprinsip
terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih yang
paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang
paling kuat yang didapat ketika keputusan diambil. Koreksi dari siapapun akan
diterima sepanjang dapat diberikan dalil- dalil lain yang lebih kuat. Dengan
demikian Majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan;
e.
Contoh
Putusan Hukum Memasang gambar KH Ahmad
yang dikoreksi Dahlan pada awalnya
dinyatakan haram karena dikhawatirkan menimbulkan kultus pdan syirik; Putusan hukum tersebut
dikoreksi dengan putusan kemudian yang menyatakan boleh memasang photo/gambar
KH Ahmad Dahlan.
f.
Di
dalam masalah aqiedah (tawhid) hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutawatir;
g.
Tidak
menolak ijma’ Shahabat sebagai dasar sesuatu keputusan;
h.
Terhadap
dalil-dalil yang mengandung ta’arudl digunakan cara al-jam’u wat-tawfieq da
kalau tidak dapat diakukan barudilakukan tarjih;
i.
Menggunakan
asas sadd adz-dzara’i untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah;
j.
Menta’lil
dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah
sepanjang sesuai dengan kandungan syari’ah. Adapun kaidah “al-hukmu yaduru ma’a
‘illatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu dapat berlaku;
k.
Penggunaan
dalil untuk menetapkan sesuatu hukum, dilakukan dengan cara komprehensif, utuh
dan bulat tidak terpisah;
l.
Dalil-dalil
umum al-Quran dapat diktakhsis hadis Ahad kecuali dalam bidang aqidah;
m.
Dalam
mengamalkan agama Islam menggunakan prinsip at-taysir;
n.
Dalam
bidang ibadah yang ketentuan- ketentuannya dari al-Quran dan as- Sunnah,
pemahamannya dapat dilakukan dengan mnggunakan akal sepanjang diketahui
latarbelakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal besifat nisbi,
sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam
menghadapiperubahan situasi dan kondisi;
o.
Dalam
hal-hal yang termasuk al-umur ad-dunyawiyyah pengunaan akal sangat diperlukan
demi kemaslahatan ummat;
p.
Untuk
memahami nash yang musytarak paham Shahabat dapat diterima;
q.
Dalam
memahami nash yang erkaitan dengan aqiedah makna zhahir didahulukan daripada
takwil. Dalam hal ini takwil Shahabat tidak harus diterima.
6.
Contoh Putusan Tarjih Muhammadiyah
Sebagaimana
diterangkan oleh Ibn Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid, bahwa ulama telah
sepakat, di mana Imam Malik tidak menanggung ma’mum mengenai fardlu shalat,
kecuali bacaan al-Al-Fatihah. Mengenai bacaan al-Fatihah bagi ma’mum para ulama
telah berbeda pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa ma’mum dalam shalat sirri
membaca al-Fatihah bersama-sama imam, dan tidak membacanya dalam shalat jahar.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bacaan al-Fatihah gugur pada pihak ma’mum,
baik pada shalat sirri maupun pada shalat jahar. Sedangkan Imam
Syafi’i berpendapat bahwa ma’mum wajib membaca al-Fatihah saja dalah shalat jahriyah,
dan membaca al-Fatihah beserta surat apabila shalat sirriyah. Imam Ahmad
ibn Hanbal mewajibkan membaca al-Fatihah waktu tidak terdengarnya bacaan imam,
baik karena bacaannya sirr atau karena jauhnya, dan melarang membacanya
waktu didengarnya bacaan imam.
Sehubungan
dengan masalah ini, Lajnah Tarjih telah mengambil keputusan dengan ciri khas
sebagaimana disebutkan di atas, sbb: “Hendaklah kamu memperhatikan dengan
tenang bacaan Imam apabila keras bacaannya, maka janganlah kamu membaca sesuatu
selain surat al-Fatihah (22).”
B. Ulama Mazhab
1. Makna Mazhab
dan Bermazhab[3]
Secara etimologis kata mazhab
berasal dari bahasa Arab zahaba, yang berarti pergi. Dengan demikian, kata
mazhab berarti tempat pergi. Sedangkan secara terminologis, mazhab berarti
pendapat, kelompok, aliran yang pada mulanya merupakan pendapat atau hasil ijtihad
seorang imam dalam memahami suatu masalah, baik menyangkut masalah teologi,
tasawuf, filsafat, politik maupun fikih.
Dalam konteks fikih, istilah mazhab
mencakup dua pengertian. Pertama, mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang
ditempuh oleh seorang imam mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa
berdasarkan al-Quran dan al-hadis. Pengertian ini lebih menekankan mazhab dalam
konteks ushul al-fiqh. Kedua, mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang
imam mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-Quran dan
al-hadis. Pengertian ini lebih menekankan dalam konteks hasil pemikiran atau
fiqh.
Dengan demikian, mazhab adalah pokok
pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah
atau meng-istinbath-kan hukum Islam. Selanjutnya mazhab pengertiannya
berkembang menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath
imam mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat imam mujtahid tentang masalah
hukum Islam.
Pada dasarnya kemunculan
mazhab-mazhab dalam Islam merupakan sesuatu yang wajar mengingat al-Quran dan
al-sunnah memang memberi peluang munculnya berbagai penafsiran
(multi-interpretasi), karena di dalamnya banyak sekali terkandung ayat yang zanni
al-dalalah (ayat yang penafsirannya tidak pasti) seperti adanya lafal musytarak
(mempunyai makna ganda), majaz (metafor/makna kiyasan), ‘am-khash (umum
dan khusus) dan sebagainya. Secara lebih rinci, Abu Zahrah, seorang ahli ushul
al-fiqh, menjelaskan bahwa munculnya mazhab-mazhab dalam Islam dikarenakan
beberapa hal: (1) perbedaan pemikiran. Perbedaan ini bisa karena pengetahuan
yang berbeda, bisa juga karena konteks sosial masing-masing imam yang berbeda;
(2) ketidakjelasan masalah yang menjadi tema pembahasan; (3) perbedaan
kesenangan dan kecenderungan; (4) perbedaan sudut pandang; (5) karena mengikuti
cara pandang pendahulunya; (6) perbedaan kemampuan; (7) masalah kepemimpinan
dan kecintaan kepada penguasa; (8) fanatisme kelompok yang berlebihan.
Satu hal yang perlu digaris bawahi,
meskipun dalam Islam terjadi perbedaan pendapat yang kemudian melahirkan
mazhab, namun perbedaan tersebut hanya terjadi pada masalah-masalah furu’
(cabang), tidak sampai kepada ajaran Islam yang pokok (ushul) terutama yang
berkaitan dengan paham tauhid. Atas dasar itu, perbedaan tersebut lebih tepat
dipandang sebagai dinamika (perkembangan) pemikiran daripada sebagai
perpecahan.
Dalam sejarah perkembangan hukum
Islam (Tarikh Tasyri’ al-Islami) hingga kini sudah muncul tiga belas
mazhab fikih dalam Islam, namun yang terkenal dan melembaga ada sembilan.
Mereka dikenal sebagai tokoh-t.okoh yang meletakkan dasar metode pemahaman fiqh
yang kemudian diikuti oleh generasi sesudahnya. Mereka adalah:
1.
Imam Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar al-Bashri (w. 110 H)
2.
Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H)
3.
Imam al-Auza’i Abu Amr bin Muhammad (w. 157 H)
4.
Imam Sufyan bin Sa’id bin Masraq al-Tsauri (w. 160 H)
5.
Imam al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H)
6.
Imam Malik bin Anas al-Asybahi (w. 179 H)
7.
Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H)
8.
Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204 H)
9.
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)
Mazhab yang terus berkembang hingga
sekarang dan masih banyak diikuti umat Islam hanya empat mazhab, yaitu:
SUNNI
2.
Mazhab Hanafi
Mazhab
Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh dalam Islam Sunni. Mazhab ini
didirikan oleh Imam Abu Hanifah yang bernama lengkap Abu Hanifah
bin Nu'man bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi, dan terkenal sebagai mazhab yang paling
terbuka kepada ide modern. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan
orang Islam Sunni Mesir,
Turki, anak-benua India, Tiongkok dan
sebagian Afrika Barat, walaupun pelajar Islam seluruh dunia belajar dan melihat
pendapatnya mengenai amalan Islam. Mazhab
Hanafi merupakan mazhab terbesar dengan 30% pengikut.
Metodologi Fiqih Abu Hanifah
Dasar-dasar Abu Hanifah dalam
Menetapkan suatu hukum fiqh bisa dilihat dari urutan berikut:
- Al-Qur'an
- Sunnah, dimana beliau selalu mengambil sunnah yang mutawatir/masyhur. Beliau mengambil sunnah yang diriwayatkan secara ahad hanya bila rawi darinya tsiqah.
- Pendapat para Sahabat Nabi (Atsar)
- Qiyas
- Istihsan
- Ijma' para ulama
- Urf masyarakat muslim
Hubungan dengan Mazhab yang Lain
Kehadiran
mazhab-mazhab ini mungkin tidak bisa dilihat sebagai perbedaan mutlak seperti
dalam agama Kristen
(Protestan
dan Katolik)
dan beberapa agama lain. Sebaliknya ini merupakan perbedaan melalui pendapat
logika dan ide dalam memahami Islam. Perkara pokok seperti akidah atau tauhid masih sama dan
tidak berubah.
3.
Mazhab Maliki
(bahasa Arab:
مالكية) adalah satu dari empat mazhab fiqih atau hukum
Islam dalam Sunni.
Dianut oleh sekitar 15% umat Muslim, kebanyakan di Afrika
Utara dan Afrika Barat. Mazhab ini didirikan oleh Imam Malik
bin Anas atau bernama lengkap Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirul
Ashbani.
Mazhab ini berpegang pada :
- Al-Qur'an
- Hadits Rasulullah yang dipandang sah
- Ijma' ahlul Madinah. Terkadang menolak hadits yang berlawanan atau yang tak diamalkan ulama Madinah
- Qiyas
- Istilah
Mazhab ini
kebanyakan dianut oleh penduduk Tunisia, Maroko, al-Jazair, Mesir Atas dan
beberapa daerah taslim Afrika.Mazhab ini menjadi dasar hukum Arab Saudi.
4.
Mazhab Syafi'i
(bahasa Arab:
شافعية , Syaf'iyah) adalah mazhab fiqih yang dicetuskan
oleh Muhammad
bin Idris asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam
Syafi'i.Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi
bagian barat, Suriah,
Indonesia,
Malaysia, Brunei, pantai
Koromandel, Malabar,
Hadramaut,
dan Bahrain.
Sejarah
Pemikiran
fiqh mazhab ini diawali oleh Imam Syafi'i, yang hidup di zaman pertentangan
antara aliran Ahlul Hadits (cenderung berpegang pada teks hadist) dan Ahlur
Ra'yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau ijtihad). Imam
Syafi'i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul Hadits, dan Imam Muhammad
bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur Ra'yi yang juga murid Imam
Abu Hanifah. Imam Syafi'i kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya
sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam
Syafi'i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih
Mursalah dari Imam Malik. Namun demikian Mazhab Syafi'i menerima penggunaan
qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua
aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi'i sebagai ulama fiqh, ushul fiqh,
dan hadits di
zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui
oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.
Dasar-dasar
Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh Ar-Risalah dan kitab
fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi'i menjelaskan
kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah
(yang bersifat cabang). Dasar-dasar mazhab yang pokok ialah berpegang pada
hal-hal berikut.
- Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi'i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
- Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Quran. Imam Syafi'i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
- Ijma' atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijma' yang diterima Imam Syafi'i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum; karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
- Qiyas yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi'i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.
5. Mazhab
Hambali
Mazhab Hambali / Imam Ahmad bin Hanbal dicetuskan oleh Ahmad bin Muhammad Hanbal bin Hilal.
Dasar-dasarnya yang pokok ialah berpegang pada :
- al-Qur-an
- Hadits marfu'
- Fatwa sahabat dan mereka yang lebih dekat pada al-Qur-an dan hadits, di antara fatwa yang berlawanan
- Hadits mursal
- Qiyas
Mazhab ini
dianut kebanyakan penduduk Hejaz, di pedalaman Oman dan beberapa tempat sepanjang Teluk Persia dan di beberapa
kota Asia
Tengah.
6. Memahami
Muhammadiyah Melalui Pemikiran Keagamaannya
KHA. Dahlan memahami bahwa al-Quran
adalah sumber utama yang menjadi rujukan baku untuk siapa pun, di mana pun dan
kapan pun dalam ber-(agama)-Islam. Konsep normatif Islam sudah tersedia secara
utuh di dalamnya (al-Quran) dan sebegitu rinci dijelaskan oleh Rasulullah
s.a.w. di dalam sunnahnya, baik yang bersifat qaulî, fi’lî dan taqrîrî. Hanya
saja apa yang dikerjakan oleh Rasulullah s.a.w. perlu diterjemahkan ke dalam
konteks yang berbeda-beda, dan oleh karenanya “memerlukan ijtihad”.
Ijtihad dalam ber-(agama)-Islam bagi
KHA. Dahlan adalah “harga mati”. Yang perlu dicatat bahwa Dia
menganjurkan umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah secara
kritis. Ia menyayangkan sikap taqlid umat Islam terhadap apa dan siapa pun yang
pada akhirnya menghilangkan sikap kritis. Ia sangat menganjurkan umat Islam
agar memiliki keberanian untuk berijtihad dengan segenap kemampuan dan
kesungguhannya, dan dengan semangat untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah
ia pun ingin merombak sikap taqlid menjadi – minimal – menjadi sikap ittiba’.
Sehingga muncullah kolaborasi antara para Mujtahid dan Muttabi’ yang secara
sinergis membangun Islam Masa Depan, bukan Islam Masa Sekarang yang stagnant
(jumud, berhenti pada kepuasaan terhadap apa yang sudah diperoleh), apalagi
Islam Masa Lalu yang sudah lapuk dimakan zaman. Semangatnya mirip dengan
Muhammad Abduh: “al-Muhâfadhah ‘Alâ al-Qadîm ash-Shâlih wa al-Akhdzu bi
al-Jadîd al-Ashlah”
7. Himpunan Putusan
Tarjih dan Mazhab Empat
Himpunan Putusan Tarjih (selanjutnya
disebut HPT) adalah hasil diskusi dan kesepakatan yang dihasilkan melalui
proses panjang dalam serangkaian pembahasan para ulama tarjih (Muhammadiyah)
dalam setiap pertemuan resmi, yang saat ini disebut dengan Musyawarah Nasional
(Munas).
Hasil-hasil diskusi atau pembahasan
para ulama tarjih (Muhammadiyah) tersebut kemudian ditanfidzkan
(dinyatakan keabsahan dan keberlakuannya) oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang
diasumsikan mengikat secara organisatoris kepada seluruh jajaran pimpinan dan
anggota Muhammadiyah.
Meskipun secara eksplisit
Muhammadiyah tidak pernah menyatakan bermazhab, tetapi dalam praktik pembahasan
atas masalah-keagamaan (utamanya: fikih) para ulama tarjih (Muhammadiyah) sama
sekali tidak bisa menghindar dari manhaj (metodologi) dan pendapat para
imam mazhab (termasuk imam mazhab empat) dan pengembangannya dalam berbagai
ragam pendapatnya.
Dengan mencermati diktum-diktum
putusan tarjih hingga saat ini, maka kita bisa melhat nuansa mazhab dan
bermazhabnya para ulama tarjih (Muhammadiyah), utamanya dalam pengertian manhaji
(metodologis). Karena – secara jelas – mereka menggunakan sejumlah manhaj yang
ditawarkan oleh para imam mazhab itu tanpa kecuali. Hanya saja, para ulama tarjih
tidak mau terjebak untuk mengikatkan diri pada manhaj dan (apalagi) pendapat
ulama mazhab tertentu.
Pola bermazhab seperti itu, dalam
khazanah pemikiran keislaman disebut dengan bermazhab dengan pola “talfiqi”
(memadukan pemikiran antarmazhab), dengan pertimbangan: “memilih yang paling
layak untuk dipilih” secara proporsional.
Pemilihan metode “qiyas”,
misalnya, jelas mengacu pada keberpihakan keempat imam mazhab pada pendekatan ta’lili,
yang secara lebih jelas diperkenalkan oleh Imam asy-Syafi’i dan para
pengikutnya. Sementara pemilihan metode “istihsan”, jelas mengacu pada
Imam Abu Hanifah. Sedangkan pemilihan metode “mashlahah mursalah” dengan
berbagai ragam pengembangannya, jelas mengacu pada Imam Malik. Dan diketika
Muhammadiyah (melalui kajian tarjih) mengadopsi metode “istishhab”, maka
secara tidak langsung juga mengakui keberadaan mazhab Hanabilah, yang merujuk
pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.[4]
Ihtitâm
Muhammadiyah bukanlah sebuah mazhab,
dan tidak berkeinginan untuk menjadikan dirinya sebagai mazhab baru. Tetapi,
dalam perjalanan waktu temuan-temuan ijtihadnya bisa menjadi model bagi siapa
pun, utamanya warga Muhammadiyah untuk dirujuk menjadi panduan dalam beragama,
sehingga seolah-oleh menjadi mazbah baru.
Dalam konteks mazhab dan bermazhab, hal
itu bukanlah suatu yang tabu bagi Muhammadiyah. Tetapi, bagaimanapun juga
kesediaan untuk bermazhab dan mengakui keberadaan mazhab tidak akan pernah
menjebak Muhammadiyah untuk mengikatkan diri para mazhab tertentu, baik dalam
pengertian manhaji apalagi qauli.
Jadi, Muhammadiyah selamanya akan
menempatkan diri sebagai kelompok terbuka untuk menerima, menolak,
mengakomodasi, menghargai, mengeritik dan menyempurnakan setiap pemikiran
keagamaan, (termasuk di dalamnya fikih), secara kritis, jujur dan terbuka
dan penuh empati kepada pemikiran siapa pun dan dari mazhab mana pun dengan
tetap konsisten untuk merujuk (kembali) kepada al-Quran dan as-Sunnah
al-Maqbûlah.
Dan oleh karenanya Muhammadiyah akan
tetap berhimmah untuk menjadi “Yang Pertama dan Utama” untuk menjadikan
al-Quran dan as-Sunnah sebagai marja’ (rujukan) dalam berislam secara kaffah
dalam konteks tajdid (purifikasi dan pembaruan) yang proporsional dan
bertanggungjawab
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Muhammadiyah adalah organisasi
gerakan Islam, juga gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang beraqidah Islam
bersumberkan Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam bidang penelitian hukum islam,
bahwa pemberian pertimbangan kepada pimpinan persyarikatan guna menentukan
kebijaksanaan dan pelaksanaan hukum islam kepada anggota, serta mendampingi
pimpinan persyarikatan dalam memimpin anggota dalam melaksanakan ajaran islam
oleh Persyarikatan diserahkan kepada Majlis Tarjih.
Maka dalam menentukan segala
sesuatu, atau dalam mengambil sebuah keputusan khususnya yang menimbulkan
pertentangan harus menggunakan metode-metode atau cara-cara yang jelas dan
sesuai dengan kaidah islam yang ada supaya tercapai kesepakatan dan hasil yang
baik untuk semua.
Muhammadiyah bukanlah sebuah mazhab,
dan tidak berkeinginan untuk menjadikan dirinya sebagai mazhab baru. Tetapi,
dalam perjalanan waktu temuan-temuan ijtihadnya bisa menjadi model bagi siapa
pun, utamanya warga Muhammadiyah untuk dirujuk menjadi panduan dalam beragama,
sehingga seolah-oleh menjadi mazbah baru.
Dalam konteks mazhab dan bermazhab,
hal itu bukanlah suatu yang tabu bagi Muhammadiyah. Tetapi, bagaimanapun juga
kesediaan untuk bermazhab dan mengakui keberadaan mazhab tidak akan pernah
menjebak Muhammadiyah untuk mengikatkan diri para mazhab tertentu, baik dalam
pengertian manhaji apalagi qauli.
DAFTAR
PUSTAKA
http://aimaranggara.blogspot.com/2013/07/makalah-metode-ijtihad-dalam-manhaj.html
-
See more at: http://lpsi.uad.ac.id/manhaj-tarjih-dan-metode-penetapan-hukum-dalam-tarjih-muhammadiyah.asp#sthash.0v8KzQuk.dpuf
http://lpsi.uad.ac.id/manhaj-tarjih-dan-metode-penetapan-hukum-dalam-tarjih-muhammadiyah.asp
Abu
Zahrah, Muhammad, Imam Syafi'i:
Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik & Fiqih,
Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Penyunting: Ahmad Hamid
Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).
Al-Qaththan,
Syaikh Manna', Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur'an, Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc., MA., Penyunting:
Abduh Zulfidar Akaha, Lc., Cet.1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006).
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam,
Ed.1, Cet.12 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001).
Imam
Muslim, Terjemah Hadits Shahih Muslim,
Penerjemah: Ahmad Sunarto (Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung,
2002).
Al
Imam Al Bukhari, Terjemah Hadits
Shahih Bukhari, Penerjemah: Umairul Ahbab Baiquni dan Ahmad Sunarto
(Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung, tanpa tahun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar